DSC_0001

DSC_0003

DSC_0004

DSC_0006

Chyiwmaen2168

Chyiwmaen2169

Chyiwmaen2170

Camera 14MP-9PA

Camera 14MP-9PA

Camera 14MP-9PA

Camera 14MP-9PA

Camera 14MP-9PA

421613_142354582549599_313352512_n

foto kegiatan pondok

acara pembukaan PMR

acara pembukaan PMR

Camera 14MP-9PA

Camera 14MP-9PA

Camera 14MP-9PA

Camera 14MP-9PA

Camera 14MP-9PA

Camera 14MP-9PA

Camera 14MP-9PA

Mars DDI

Mars DDI

Agama islam agama yang mulia

Penyelamat di dunia dan akhirat

Tegakkan slalu di bumi persada

Bangun dengan ilmu agama yang kuat

Perguruan darud da’wah wal irsyad

Wadah memperkokoh agama islam

Tempat menuntut ilmu yang berguna

Sebagai bekal di dunia dan akhirat

Wahai seluruh umat islam

Mari membangun perguruan kita

Perguruan darud da’wah wal irsyad

Sebagai pewujud cinta agama islam

Wahai sluru remaja islam

Mari menuntut ilmu agama

DDI sudah menanti kita

Hiduplah DDI jayalah umat islam

foto” anak ddi paria

Kisahku di DDi Paria

Sekarang sudah lebih dari 5 tahun aku menjadi bagian dari sebuah pesantren kecil di paria yang di beri nama AL-MUKHLISIN DDI PARIA dan sebentar lagi kalau Allah mengijinkan aku akan meninggalkan pesantren ini,slama lebih dri 5 tahun menjadi bagian ddi tentu berbagai keadaan telah aku lalui kadang senyum dan kadang air mata tak terbendung untuk keluar..Namun satu problem yang masih menghiasi pikiranku saat ini karena sbeagian besar masyarakat masih berpandangan kalau DDI Paria sekolah yang paling rendah dari yang lainnya tapi karena kata-kata ini jga yang membuat saya selalu termotivasi untuk membuktikan kepada mereka yang punya pandangan yang berbedah tentang ddi kalau dengan ilmu yang sedikit tapi bisa di manfaatkan untuk orang lain dari pada ilmu segudang tapi manfaatnya cuma untuk kita sendiri karena bagi aku yang dikatakan orang sukses dalam menuntut ilmu bukan orng yang pintar,bukan ornag kaya ataupun orang cerdas tapi orang yang sukses itu bagi aq orang yang memiliki ilmu dan mengamalkannya dan orang laen memetik manfaat dari ilmu yang kita miliki.Nah pada Ramadhan yang lalu aku di tawari ceramah di kampung aku sendiri padahal rencananya aku tidak mau keluar ceramah karna aku sndiri masih sangat perlu dengar ceramah..ha..ha..ha..tapi untuk membuktikan kalau DDI juga bisa makanya aku terimah dan lucunya ketika ceramah banyak orng yang mengirah aku sekolah di Sengkang dan Atas bantuan dari Allah Swt tugas yang aku emban bsia terselesaikan dengan baik and mudah-mudahan pandangan orang terhadap DDI berubah…

makalah tentang pelajar wajo

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Anak / pelajar adalah aset pembangunan daerah sampai kapanpun.Entah anak / pelajar itu berkualitas ataupun tidak,tetap anak / pelajar menjadi aset daerah.Bila kita berbicara mengenai  kualitas dan tidaknya berarti ada satu hal yang sangat penting untuk kita bicarakan,karena satu hal ini yang menjadi pilar untuk menopang pembangunan suatu daerah.

Pendidikan,memang adalah satu pilar yang dibutuhkan suatu daerah  untuk menjalankan pembangunan.Pendidikan mempunyai porsi yang banyak dalam memajukan pembangunan suatu daerah,karena melalui pendidikan muncul bibit unggul yang akan tumbuh,berkembang dan pada waktunya akan berbuah.Walau pun memang  kita sadari apabila pada waktunya berbuah,terkadang tuai-tuaiannya menghasilkan hasil yang kurang baik.

Namun demikian apapun kritik kita terhadap output dari pendidikan,kita harus tetap optimis bahwa pendidikan di daerah kita harus mampu menciptakan manusia-manusia yang berkualitas,yang kemudian kelak akan mencerahkan masa depan pembangunan daerah kita,khususnya tanah Wajo.

Nah,dari uraian latar belakang di atas maka kami tertarik untuk menyusun makalah yang berjudul “Pelajar Wajo dan Masa Depan Daerah Wajo “

B.Rumusan Masalah

1.Bagaimana keadaan pendidikan di Wajo ?

2.Sejauh mana prestasi pelajar-pelajar Wajo?

3.Kendala apa yang menghantui pelajar  Wajo sekarang?

4.Apa usaha pemerintah Wajo untuk meningkatkan mutu pendidikan?

5.Sejauh mana peran pelajar untuk masa depan Wajo?

C.Tujuan Masalah

Tujuan penulisan makalah ini,yaitu untuk memberikan ulasan tentang :

1.Keadaan pendidikan di Wajo.

2.Prestasi pelajar-pelajar Wajo.

3.Kendala yang dihadapi pelajar Wajo.

4.Usaha pemerintah dalam peningkatan mutu pendidikan Wajo.

5.Peran pelajar untuk masa depan Wajo.

 

 

 

D.Metode Penulisan

Metode yang digunakan penulis dalam penyusunan makalah ini adalah kajian pustaka.Dimana bahan-bahannya penulis ambil lebih banyak dari buku / perpustakaan.

E.Sistematika Penulisan

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

B.Rumusan Masalah

C.Tujuan Penulisan

D.Metode Penulisan

E.Sistematika Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

A.Keadaan pendidikan di Wajo.

B.Prestasi pelajar-pelajar Wajo.

C.Kendala yang dihadapi pelajar Wajo.

D.Usaha pemerintah dalam peningkatan mutu pendidikan Wajo.

E.Peran pelajar untuk masa depan Wajo.

BAB III PENUTUP

A.Kesimpulan

B.Saran

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.Keadaan Pendidikan di Wajo

Dengan semakin berkembangnya  zaman sehingga memberikan tantangan yang terus-menerus,menuntut kita untuk segera membenahi diri,memikirkan segala sesuatu untuk kehidupan yang akan datang,karena tidak mustahil kalau kita terus berpangku tangan dan terlena oleh keadaan kita benar-benar akan  ketinggalan dalam segala hal.Olehnya itu dalam menjawab tantangan zaman,hal yang pertama yang harus kita benahi yaitu keadaan pendidikan kita ,sebagaimana kita tahu bahwa pendidikanlah yang memiliki peranan penting dalam perkembangan suatu daerah.

Sejalan dengan visi pendidikan Nasional yaitu terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memperdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif  menjawab tantangan zaman yang selalu berubah dan menyadari bahwa pendidikan mempunyai peranan penting dan sraregis dalam pembangunan bangsa.Maka pemerintah terus bertekad memberikan perhatian yang besar pada pembangunan pendidikan.

Memang kita harus akui bahwa pembangunan dunia pendidikan di Wajo selama ini telah banyak mengalami kemajuan,meskipun juga kita menyadari masih banyak persoalan pendidikan yang harus diselesaikan seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan di era global dan untuk menjawab berbagai tantangan dan kendala yang kita hadapi maka dengan melalui sentra pendidikan tahun 2005-2009 pemerintah telah menetapkan tiga pilar kebijakan,yaitu :

a.Pemerataan dan perluasan akses pendidikan.

b.Pendidikan mutu,relevansi,dan daya saing pendidikan.

c.Pengaturan tata kelola akuntabilitas dan citra publik.

Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya pemerintah telah bekerja keras untuk mengatasi persoalan-persoalan pendidikan di daerah Wajo.

Namun,tak bisa di pungkiri bahwa walaupun pemerintah telah berusaha keras untuk membenahi persoalan pendidikan di Wajo,kalau para pelajar- sendiri tidak peduli dengan keadaan pendidikan di Wajo maka mustahil pembenahan akan berhasil,karena yang menjadi pelaku utama dalam dunia pendidikan adalah pelajar sendiri,pemerintah hanya bertindak sebagai fasilitator,provider bagi para pelaku pendidikan.

Olehnya itu,pemerintah dan pelaku pendidikan  seharusnya memiliki hubungan / relasi yang kondusif sehingga tercipta kinerja yang baik.

B.Prestasi Pelajar-Pelajar Wajo

 

Dalam pembahasan ini akan diuraikan prestasi pelajar-pelajar Wajo dengan rincian sebagai berikut :

a.Prestasi Dalam Bidang Olahraga

Kontingen Wajo pada Pekan Olahraga antar Pondok Pesantren Tingkat Provinsi Sulawesi Selatan     ( POSPEDA ) yang beberapa bulan ini digelar di Makassar telah berhasil meraih beberapa prestasi dalam berbagai jenis nomor lomba seperti Tenis Meja,Tolak Peluru,dan atletik.

-Tenis Meja : juara 1 putra

juara 1 putri

-Tolak Peluru : Juara 1 putri

-Atletik :

Lari 100 m : Juara harapan 1

Lari 5 K : Juara harapan 1

Lari 200 m: Juara harapan 1

Lari Estafet : Juara harapan 1

Para juara di atas akan mewakili Propinsi Sulawesi Selatan ke Yogyakarta pada bulan Juni 2010 yang akan datang di POSPENAS.

b.Seni

  •  Wajo meraih juara III  dalam Seni Tradisional Bugis di Samarinda tahun 2003.
  •  Pada tahun 2007 Wajo meraih juara II pada Sayembara Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Selatan.

c.Akademik

  • Tahun 2006 siswa SMA 1 Takkalalla menjadi peserta Lomba Fisika Tingkat Kabupaten dan mewakili Kab.Wajo di tingkat propinsi,[ada tahun 2007 kembali torehan prestasi gi ukir oleh siswa SMA 1 Takklalla dengan mewakili kab.Wajo pada olimpiade Biologi tingkat propinsi di tingkat Propinsi.

 

 

 

 

C.Kendala yang dihadapi pelajar Wajo

Berikut beberapa faktor yang menjadi kendala yang sering dihadapi pelajar-pelajar Wajo :

 

a.Faktor Ekonomi

Telah kita ketahui bahwa faktor yang paling banyak mempengaruhi  anak yang tidak atau putus sekolah di Indonesia  adalah faktor ekonomi,termasuk daerah Wajo.Kebanyakan pelajar-pelajar yang tidak melanjutkan pendidikan adalah anak yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikan anaknya,sehingga kebanyakan orang tua  mengambil jalan pintas dengan langsung mempekerjakan anaknya,karena menurut mereka dengan langsung mempekerjakan anaknya akan cepat mendapat penghasilan.

Memang dalam sepintas kalau kita simak pernyataan orang tua siswa,kita akan memberikan pernyataan bahwa orang tualah yang salah.Akan tetapi kalau kita telusuri lebih jauh keadaan sebenarnya yang dialami oleh para orang tua pelajar,memang wajar orang tua langsung mempekerjakan anaknya,karena darimana mereka bisa mendapatkan biaya pendidikan sementara untuk biaya sehari –hari belum cukup terpenuhi.

Nah,disinilah pemerintah harus jeli dengan keadaan rakyatnya terutama kepada pelajar yang menjadi penerus bangsa.Bisa kita bayangkan bagaimana kalau para pelajar yang kurang mampu tidak bisa lagi meneruskan pendidikan sementara keadaan pembangunan daerah kita masih terseok-seok.

Padahal sebenarnya banyak pelajar yang kurang mampu justru lebih unggul di sekolah (maksudnya mata pelajaran ) kalau di bandingkan dengan orang yang berada.Karena mengapa,pelajar yang kurang mampu tersebut pasti berhati-hati dalam menempuh pendidikannya,agar supaya kelak bisa berhasil dan tidak mengecewakan orang tua,sedangkan pelajar yang orang tuanya berkecukupan pasti hanya menganggap remeh pendidikannya karena terbiasa dengan kehidupan yang serba ada.

b.Faktor Sarana dan Prasarana

Salah satu faktor pendukung untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang baik adalah faktor sarana dan prasarana.Dimana faktor inilah yang menjadi penentu dalam kelancaran proses belajar-mengajar.Coba kita tengok pada sekolah-sekolah yang ada di luar negeri,seperti sekolah yang ada di Jepang,Amerika,Inggris dan Belanda.Sekolah mereka dilengkapi dengan sarana yang lengkap dan memadai sehingga bisa kita saksikan bagaimana pelajar di negara-negara tersebut yang memiliki kualitas sumber daya manusia yang cukup andal.Contoh kecil saja,pelajar-pelajar yang ada di Jepang yang sederajat dengan SD di Indonesia itu sudah bisa mengutak-atik dan merakit alat elektronik yang sebenarnya untuk anak SD di Indonesia tidak bisa.Jangankan anak SD,mahasiswa saja yang jelas-jelas sudah tinggi pendidikannya belum tentu bisa melakukannya.

Dari contoh di atas dapat ditarik satu kesimpulan bahwa sarana dan prasarana yang memadai dalam suatu lingkungan sekolah merupakan faktor pendukung untuk mendapatkan kualitas suatu pendidikan.

Di perkotaan saja,yang sarananya cukup memadai belum tentu memberikan output  pendidikan yang  berkualitas,apalagi kalau di daerah pedesaaan yang sarananya yang masih sangat kurang,tentu kualitasnya juga kurang memuaskan.Olehnya itu,untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang bermutu  tentunya harus dibarengi dengan sarana yang bermutu.

c.Perkembangan Teknologi dan Informasi

Perkembangan teknologi yang sekarang ini sangat pesat telah membawa angin segar bagi semua kalangan,baik kalangan pemerintah,pejabat.,masyarakat biasa,termasuk pelajar.Dengan perkembangan teknologi inilah yang memberikan banyak kemudahan bagi para pelajar dalam melakukan berbagai macam kegiatan-kegiatannya.Berbagai macam tugas yang diberikan oleh para guru yang mengharuskan siswa untuk bekerja extra memeras otak mencari reverensi yang dibutuhkan,akan tetapi dengan kehadiran teknologi membuat mereka bernapas lega.Kalau ada tugas yang diberikan,mereka tidak perlu lagi sibuk tujuh keliling  mengutak –atik buku di perpustakaan,dengan  hanya memencet beberapa kumpulan tombol mereka sudah tersenyum simpul,kenapa??? Mereka sudah menemukan apa yang mereka cari,hanya beberapa menit saja,informasi yang dibutuhkan sudah muncul di depan mata.Itulah sebagian kecil manfaat teknologi yang telah dirasakan oleh pelajar.

Nah,apa yang menjadi permasalahan sekarang???

Yang menjadi permasalahan sekarang adalah ada sebagian pelajar menyalahgunakan kegunaan teknologi tersebut,dan ini juga termasuk menjadi masalah di daerah kita.Hal inilah yang sekarang menjadi issu hangat yang menjadi bahan pembicaraan banyak orang,mulai dari pemerintah sampai masyarakat.Karena mereka menyadari bahwa apabila teknologi yang sudah disalahgunakan maka yakin dan percaya moral para pelajar akan bobrok.Contoh kecil saja,dalam kegiatan belajar dalam kelas banyak siswa yang hanya main SMS-an sementara guru di depan sedang menerangkan pelajaran,bisa kita bayangkan,ilmu apa yang mereka bisa dapatkan kalau sementara guru di depan menerangkan sedang dia di belakang sedang asyik main SMS-an / chatting dengan temannya.

Kemudian kita berangkat lagi ke contoh yang lebih besar,yaitu maraknya video-video porno yang beredar di kalangan para pelajar.Siswa  yang memiliki cukup kekuatan iman mungkin bisa sedikit menahan diri,akan tetapi bagaimana siswa yang tidak bisa,dia pasti berusaha untuk melampiaskan nafsunya itu.Nah,hal-hal seperti inilah yang memotivasi pelajar untuk membuat juga video-video seperti itu,sehingga memungkinkan bertambahnya penderita HIV/AIDS.Menurut data yang diperoleh bahwa Wajo masuk peringkat teratas dalam penderita HIV/AIDS.

Coba kita bayangkan,jika seandainya pelajar –pelajar yang ada di Wajo menjadi korban teknologi,apalah jadinya Wajo ke depan nantinya.

Itulah tiga kendala / masalah yang menurut penulis yang menduduki tingkat teratas dalam masalah pendidikan pelajar kita di Wajo,meskipun masih ada kendala yang lain  yang belum sempat kami tulis dalam makalah ini.

D.Usaha pemerintah dalam peningkatan mutu pendidikan Wajo.

Dalam kurun waktu tahun 2005-2007  hasil yang telah dicapai melalui pendanaan massal pendidikan antara lain:Program Bantuan Operasional Sekolah  ( BOS ) telah membebaskan sebanyak 70,3 % murid SD / MI dan SMP/MTs dari pungutan biaya operasional dan semua siswa miskin bebas dari 9 pungutan serta peningkatan kualifikasi kompetensi dan sertifikasi pendidik dan tenaga kependidikan secara massal pada tahun 2007 telah berhasil ditingkatkan kualifikasi 81.800 guru hingga s/d 4 dan 8.540 dosen hingga S2/S3 serta dilakukan sertifikasi untuk 147.217 guru penerapan TIK secara massal untuk E-pembelajarandan E-administrasi hingga akhir tahun 2007 telah tersambung dengan Hardiknas,meliputi zona sekolah telah tersambung lebih dari 10.000 sekolah,zona perguruan tinggi (Internet)telah tersambung 82 PTN,133 PTS,36 unit pendidikan belajar jarak jauh universitas terbuka,yang secara keseluruhan melayani lebih kurang 60% populasi mahasiswa.

Pembangunan sarana dan prasarana secara massal pada semua jenjang pendidikan telah di bangun sebanyak 5.419 unit sekolah baru,762 ruang kelas baru,4.428 perpustakaan dan,8.581 laboratorium,sementara itu rehabilitasi ruang kelas SD/MI sebanyak 217.113 ruang kelas,SMP 18.501 ruang ke;as dan SMA/MA/SLB/SMK  sebanyak 2.358 ruang kelas.

Sebenarnya masih banyak yang harus diupayakan pemerintah dalam perkembangan pendidikan Wajo,akan tetapi usaha-usaha dari pemerintah diatas haruslah kita syukuri dan dipergunakan sebagaimana mestinya,untuk kebutuhan pendidikan Wajo.

E.Peran dan Tugas Pelajar untuk Masa Depan Wajo.

Berbicara masalah masa depan suatu daerah itu tidak terlepas dari penerus daerah itu sendiri,karena secara logika tentu tidak ada masa depan kalau tidak ada penerus,oleh karena itu untuk memiliki masa depan yang mantap tentu yang perlu dibenahi dulu adalah penerusnya.Nah,disini kita pelajar-pelajar Wajo telah mengetahui posisi kita masing-masing sebagai generasi penerus yang akan bertindak sebagai pembawa  tongkat estafet melanjutkan rintisan pendahulu kita.

Kemudian,hal apa yang harus kita lakukan sekarang???

Untuk langkah pertama kita,karena sebagai pelajar tentunya tugas pokok kita yaitu :

  1. Belajar

Sebagai seorang pelajar tentu selalu identik dengan kata ” belajar ”, kata-kata ini seakan menjadi kunci bila ingin menjadi pelajar,tapi walaupun  bukan pelajar memang harus belajar.Memang sudah ketentuan bahwa manusia itu memang harus belajar apabila tidak ingin kehilangan arah.Untuk mengetahui tentang sesuatu apapun yang menarik ataupun yang tidak menarik pikiran kita tentu harus dipelajari terlebih dahulu.Diketahui atatu tidaknya tentang sesuatu itu,itu urusan belakang,yang yang harus kita lakukan dahulu yaitu mempelajari tentang sesuatu tersebut.Begitupun sebagai seorang pelajar kita dituntut untuk mempelajari tentang sesuatu yang baru dalam pemikiran dan lingkungan kita,karena sesuatu yang baru itu akan terasa asing sehingga perlu proses pembelajaran dulu untuk mengenal sesuatu yang baru itu.

  1. Meraih segudang prestasi

Di era sekarang ini,orang sedang berlomba menuju tingkat popularitas,dimana untuk mendapatkan suatu popularitas mesti meraih yang namanya sebuah prestasi.Karena prestasi itulah yang akan membawa seseorang ke puncak popularitas.Kenapa mendapatkan popularitas itu penting???Karena popularitas itulah yang membawa seseorang dalam gerbang kesuksesan.Contoh kecil saja,di dalam lingkungan sekolah,apabila ada seorang siswa yang pintar mengadakan pendekatan dengan gurunya tentu akan lebih di kenal oleh gurunya tersebut.Tentu akan berbeda dengan siswa yang selalu acuh dengan keadaan di sekitarnya.Yang  kemudian pada suatu kegiatan yang mengharuskann ada pilihan,nah tentu guru ini akan memilih siswa yang menaruh popularitas ini dibandingkan dengan siswa yang satunya,meskipun kemampuan  mereka berdua sama.

Olehnya itu,sebagai pelajar harus jeli melihat suatu keadaan,untuk dijadikan momen untuk meraih prestasi.

  1. Mempertinggi nilai IMTAQ

Satu hal ini sama sekali tidak boleh dipisahkan dengan manusia.Inilah modal utama yang harus dimiliki oleh setiap manusia,karena kalau hal ini sudah tidak ada lagi dalam jiwa manusia maka tunggulah kehancuran manusia.IMTAQ iman dan taqwa,hanya terdiri dari dua kata tapi memiliki nilai yang sangat berharga,orang sekaya apapun kalau tidak memiliki hal ini tidak akan ada gunanya.Orang sepintar apapun kalau tidak memiliki hal ini tidak berguna juga.Bahkan orang yang memiliki kepintaran,lantas tidak memiliki IMTAQ akan menjadi perusak dalam kehidupan kita.

Jadi sebagai pelajar,IMTAQ harus menjadi prioritas utama dalam segala hal.

 

BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

a.Pemerintah telah menetapkan tiga pilar kebijakan,yaitu :

  • Pemerataan dan perluasan akses pendidikan.
  • Pendidikan mutu,relevansi,dan daya saing pendidikan.
  • Pengaturan tata kelola akuntabilitas dan citra publik

b.Kendala yang dihadapi pelajar Wajo :

  • Faktor Ekonomi
  • Faktor Sarana dan Prasarana
  • Faktor Teknologi dan Informasi

c.Tugas Pelajar untuk Masa Depan Wajo :

  • Belajar
  • Meraih segudang prestasi
  • Meningkatkan nilai IMTAQ

B.Saran

a.Pemerintah

Demi mencerdaskan kehidupan bangsa dalam pemberian bantuan kepada suatu sekolah mohon jangan setengah-tengah.

b.Pelajar

Demi mencerdaskan kehidupan bangsa,pelajar Wajo hendaknya mempergunakan bantuan-bantuan pemerintah dengan sebaik-baikmya

DAFTAR PUSTAKA

 

Mimbar Infokom:Dinas Infokom Kabupaten Wajo,edisi XIV tahun II April 2008

GERBANG : Majalah Pendidikan,edisi I tahun III Juli 2003

GERBANG : Majalah Pendidikan,edisi 12 tahun II Juni 2003

Buletin Pusat Perbukuan,edisi 11 Januari-Juni 2005

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

kewajiban menuntut ilmu pengetahuan

( KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU PENGETAHUAN)

 

Bismillahi Rahmani rahim

Assalamu Alaikum Warahmatullahi wabarakatuh

Gurunda yang saya Hormati Serta teman-teman yang saya cintai

Alhamdulillah puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt yang senantiasa melimpahkan rahmat,nikmat hidayah dan inayahnya kepada kita sekalian sehingga pada kesempatan yang berbahagia ini kita masih sempat berkumpul di tempat yang sangat sederhana ini tentu tidak lain tujuannya hanya untuk menuntut ilmu pengetahuan yang akan menjadi jalan menuju ridho Allah Swt.

Selanjutnya salawat serta salam tak lupa kita kirimkan keharibaan junjungan kita nabiullah Muhammad Saw. Nabi yang telah di utus oleh Allah untuk menyampaikan misi risalahnya yaitu’’Addinul Islam’’agama Islam untuk seluruh umat manusia.

Gurunda yang saya hormati serta teman-teman yang saya cintai

Pada kesempatan yang berbahagia ini insya Allah saya akan mengetengahkan sebuah judul pidato yaitu’’Kewajiban menuntut ilmu pengetahuan’’pengertian wajib disini ialah apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan berdosa sebagaimana sabda Rasulullah dalam sebuah hadits yang artinya:

‘’Menuntut ilmu itu diwajibkan tiap-tiap muslim laki-laki dan muslimah perempuan’’

Dari pengertian hadits di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan kalau menuntut Ilmu itu diwajibkan tiap-tiap diri muslim laki-laki dan muslimah perempuan.

Dalam pembagiannya menuntut ilmu pengetahuan itu digolongkan 3 pembagian pendidikan :

  1. Pendidikan formal yaitu pendidikan yang melalui bangku sekolah,mulai tingkat kanak-kanak sampai perguruan tinggi
  2. Pendidkan nonformal yaitu pendidkan yang diluar bangku sekolah
  3. Pendidikan informal yaitu pendidikan yang melalui informasi dan berita

Gurunda yang saya hormati serta teman-teman yang saya banggakan

Dalam islam tentu kita kenal nabi Allah Sulaiman As. Yang pernah di suruh memilih oleh Allah Swt dalam 3 hal yaitu Harta,Jabatan dan pengetahuan dan pada saat Itu Nabi Sulaiman As. Lebih memilih Pengetahuan daripada Harta dan jabatan sehingga karena Nabi sulaiam As. Memilih pengetahuan maka Allah Swt juga memberikannya berupa Harta dan jabatan.

Kalau kita kembali melihat sejarah Nabi Sulaiman As. Maka kita akan mengetahui kalau nabi Sulaiman As dalam pengetahuannya bukan hanya mengerti 12 bahasa namun bahasa angin,jin,burung dan semut juga dimengerti,dari segi pangkat Nabi Sulaiman As memerintah bukan hanya satu desa ataupun Negara tapi pada saat itu dia memimpin satu dunia dan kalau dari segi kekayaan Nabi sulaiman As saking kayanya dia pernah meminta kepada Allah Swt untuk member makan semua ikan di laut dan juga dikisahkan dalam pemerintahannya dia membangun Jalan raya sepanjang 80 km yang terbuat dari emas.

Gurunda yang saya hormati dan teman-teman yang saya cintai

Sebagai suatu kesimpulan :

  1. Menuntut ilmu itu diwajibkan tiap-tiap orang yang menyatakan dirinya muslim
  2. Dalam pendidikan dibagi menjadi 3 yaitu pendidikan format,nonformat dan informal

Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan dapat menjadi motivasi dan dorongan supaya kita lebih giat dalam menuntut ilmu,kalau ada kata yang benar itu datangnya dari Allah swt.kalau ada kata yang salah itu datangnya dari diri sang pembicara karena saya juga termasuk manusia biasa yang tidak luput dari salah dan khilaf..Akhir kata

Minallahi mustang waalihi tiqlang summa Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh

 

 

 

 

K.H. ABD. RAHMAN AMBO DALLE

(Kiprahnya Dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Lewat
Darud Da’wah Wal Irsyad)

1 Seputar Pribadi dan Keluarganya
K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle yang akrab dipanggil “Gurutta” oleh para santri dan masyarakat pada umumnya di wilayah Indonesia Timur, adalah sosok ulama kharismatik di Sulawesi Selatan, bahkan beliau tidak asing lagi bagi umat Islam Indonsia. Lembaga pendidikan yang didirikanya tersebar luas di hampir seluruh wilayah Indonseia. Waktu kelahirannya tidak dapat ditetapkan secara pasti, jadi hanya diperkirakan sekitar tahun 1900. Namun, dalam sebuah wawancara, Ambo Dalle berkisah, bahwa ia dilahirkan pada hari Selasa. Itu sekitar lima tahun sebelum kolonial Belanda mengubah sejarah di Sulawesi Selatan, menanam kekuasaan sebagai penjajah.
Ambo Dalle adalah putra semata wayang dari kedua orang tuanya. Ayahnya bernama Pung Ngati Daeng Patobo, dan ibunya bernama Andi Cendra Dewi, yang lazim dipanggil Puang Cendaha. Beliau dilahirkan di Desa Ujung”E, kecamatan Tanasitolo kabupaten Wajo, sekitar 7 km di sebelah utara kota Sengkang. Oleh orang tuanya diberi nama Ambo Dalle. Ambo artinya bapak, Dalle artinya rezeki. Dengan nama ini, terkandung harapan agar kehidupan sang anak senantiasa murah rezeki dari sisi Allah. Adapun nama Abdurrahman baru disandangnya ketika ia mulai belajar mengaji.
Pada masa kecilnya, Ambo Dalle sama halnya dengan anak-anak lainnya suka bermain-main dengan teman sebayanya dan disayangi oleh teman-temannya, apalagi memang perangainya sangat halus sebagai seorang anak bangsawan yang terpandang di kampungnya, lebih-lebih lagi kedua orang tuanya sangat menyayangi beliau sebagai anak semata wayang.
Kemudian pada masa remaja, Ambo Dalle dipenuhi dengan kesibukan belajar, menuntut ilmu pengetahuan terutama dikampung halamannya sendiri, dan kedua orang tuanya sangat menyanginya, sehingga keduanya senantiasa menjaganya dari pelbagai hal yang merusak perkembangan jiwanya di masa depan. Dari sini dipahami, bahwa kedua orang tua Ambo Dalle mempunyai hasrat agar putranya kelak menjadi orang besar atau ulama yang disegani dan dibanggakan. Dan ternyata setelah Ambo Dalle dewasa, profesi “keulamaan” itulah menjadi kawasan dimana Ambo Dalle menghabiskan waktunya dan umurnya dengan berbagai aktivitas, yakni sebagai alim ulama, mubaligh, pendidik, dan ilmuan, bahkan aktivis partai politik (PSII) yang akhirnya sebagai tokoh sentral organisasi Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI) yang didirikannya sampai akhir hanyatnya.
Dalam kehidupan berkeluarga, Ambo Dalle pernah mengawini perempuan sebanyak empat orang. Masing-masing isteri beliau bernama: 1) Andi Tenri; 2) Puang Sohora; 3) Andi Selo. Dari ketiga isterinya itu tidak satupun yang dikarunia anak, lalu Ambo Dalle menceraikannya. Kemudian isterinya yang keempat, Hj Sitti Marhawa, yang akrab dipanggil oleh santri “Puang Hawa”, dari isteri beliau inilah yang membuahkan keturunan sebanyak tiga orang putra, yaitu M. Ali Rusydi, Abd. Halim Mubarak dan M. Rasyid Ridah.
2. Pendidikan Yang Pernah Diikuti
Sebagai anak tunggal, Ambo Dalle tidak dibiarkan menjadi anak manja oleh orang tuanya. Sejak dini ia diserahkan kepada bibinya, Imaddi, lalu kepada kakeknya, La Caco, imam Ujung’E , maupun pada seorang haffiz Alquran, ustaz H. Muhammad Ishaq untuk belajar mengaji. Kemudian Ambo Dalle melanjutkan pendidikannya ke kota Sengkang, selain masuk ke Volk School (sekolah Rakyat) juga mengikuti kursus bahasa Belanda di (HIS) Hollandsch Inlandsch Sengkang.
Selepas itu, beliau melanjutkan pendidikannya di Sekolah Guru Syarikat Islam (SI) di Makassar. Disinilah ia berkenalan dengan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan terikat secara emosional dengan partai tersebut. Walaupun secara formal tidak terlibat dalam pergerakannya. Tampaknya Ambo Dalle tetap menjadikan PSII sebagai pilihan pribadinya selama partai ini eksis dan belum berfusi dengan partai lain. Menjelang Pemilu 1971—pemilu terakhir yang diikuti PSII sebagai partai independen—Ambo Dalle mendukungnya dengan membagi kartu keanggotaan partai tersebut kepada santri-santrinya, sekalipun tidak memaksa mereka mengikuti pilihannya.
Setelah menamatkan pendidikannya di Sekolah Guru Syarikat Islam, Ambo Dalle kembali ke Sengkang untuk melanjutkan dan memperdalam ilmu agamanya. Beliau memasuki sekolah Darul ‘Ulum pimpinan Sayyid Muhammad al-Mahdaliy, juga mengikuti pengajian kitab pada Syekh H. Syamsuddin, Syekh H. Ambo Amme, Syekh Abd. Rasyid Mahmud al-Jawwad, dan Sayyid Abdullah Dahlan, serta Sayyid Hasan al-Yamani.
Kemudian pada tahun 1928 K.H. Muhammad As’ad (1907-1952),—yang akrab disapa oleh santrinya “Gurutta Sade’”—pada waktu itu baru berusia 21 tahun, masih sangat muda, tetapi ilmu agamanya amat luas karena beliau lahir dan dibesarkan di kota Mekah serta menamatkan pendidikannya di Madrasah al-Falah di kota tersebut, kembali ke Sengkang dan membuka pengajian pesantren di rumahnya pada pertengahan 1930. Ambo Dalle, yang sangat antusias belajar agama, bergabung dengan pengajian tersebut. Karena memang Ambo Dalle sudah memiliki ilmu agama yang cukup, apalagi tekun mengikuti mengajian Kiai Muh. As’ad, walaupun usia gurunya lebih muda sekitar 7 tahun dibanding dengan usia Ambo Dalle, namun tidak lama kemudian Ambo Dalle diangkat oleh Kiai Muh. As’ad sebagai asisten yang memiliki tingkatan ilmu pengetahuan setaraf dengan gurunya.
Pengajian pesantren Kiai Muh. As’ad mendapat perhatian dan sambutan yang hangat dari masyarakat termasuk pemerintah setempat, sehingga santri-santrinya tidak saja berasal dari daerah Wajo, tetapi juga datang dari luar daerah. Atas saran dari pemerintah setempat, Kiai Muh. As’ad setuju untuk mendirikan lembaga pendidikan dengan sistem sekolah atau madrasah, seperti yang telah dirintis oleh Muhammadiyah. Sejak saat itu terbentuklah Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) yang terdiri dari empat tingkat, yaitu Awaliyah, Ibtidaiyah, I’dadiyah, dan Tsanawiyah. Ambo Dalle, salah satu pengajar madrasah itu, kemudian diberi kepercayaan oleh Kiai Muh. As’ad untuk mengelolahnya.
Akhirnya pada tahun 1935, Ambo Dalle berangkat ke tanah suci Mekah untuk pertama kalinya, selain untuk menunaikan ibadah haji, juga menetap beberapa bulan dengan maksud memperdalam ilmu agama yang telah dipelajarinya di Wajo. Pada masa belajar di Mekah itu, Ambo Dalle diberi sebuah kitab oleh seorang gurunya, yaitu kitab Hazinah al-Asrar al-Kubra. Menurut gurunya, di dalam kitab itu sudah tercantum semua yang ingin diketahui tentang masalah gaib. Dan ternyata dari kitab itulah, Ambo Dalle mendapatkan dan mengamalkan rahasia kehidupan para wali di masa silam. Dari situlah, sehingga Ambo Dalle memiliki sifat-sifat kewalian, yang tidak dimiliki oleh banyak ulama lain, apalagi orang awam. Dalam mengarang buku misalnya, berawal dari mimpi Ambo Dalle membaca kitab dan langsung dihafalnya, dan pada saat bangun dari tidurnya, hafalan itu kemudian ditulis dalam buku.
Setelah kembali ke Tanah Air, Ambo Dalle meneruskan pengelolaan MAI Sengkang, serta oleh santri-santrinya mulai dipanggil dengan penuh rasa hormat dan takzim sebagai Gurutta (guru atau guru kita), sebuah gelar yang setara dengan Kiai Senior di Jawa. Dari madrasah inilah, lahir ulama sekaligus tokoh pendidik Islam Sulawesi Selatan yang terkemuka, seperti K.H.M. Daud Ismail, K.H. Hobe, K.H. Muhammad Yunus Maratan, K.H. Muhammad Abduh Pabbajah, K.H. Muhammad Amberi said, K.H. Junaid Sulaiman, K.H. Muhammad Yusuf Hamzah, K.H. Abdul Muin Yusuf, K.H. Muhammad Amin Nashir, K.H. Marzuki Hasan dan tentunya Ambo Dalle sendiri, yang merupakan murid angkatan pertama Kiai Muh. As’ad.
3. Dari Sengkang ke Mangkoso
Popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikanya yang modern (sistem madrasah) dengan cepat menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah. Salah seorang yang tertarik dengan sistem pendidikan MAI Sengkang adalah H.M. Yusuf Andi Dagong, Kepala Swapraja Soppeng Riaja yang berkedudukan di Mangkoso. Ia mengirimkan delegasi agar Kiai Muh.As’ad berkenan mengutus seorang guru yang dapat mendirikan dan memimpin madrasah yang sama di Mangkoso. Mulanya Kiai Muh. As’ad keberatan. Akan tetapi, setelah didesak berkali-kali, dan kebetulan isteri AmboDalle berasal dari Soppeng Riaja, akhirnya Kiai Muh. As’ad merelakan murid dan asisten terkasihnya itu berangkat ke Mangkoso.
Tanggal 11 Januari 1939 adalah hari yang paling berkesan bagi masyarakat Soppeng Riaja sebab pada hari itu Ambo Dalle beserta keluarganya tiba di Mangkoso. Pihak kerajaan telah menyiapkan tempat tinggal dan fasilitas pendidikan yang diperlukan. Semua calon santri telah menunggu, dan biaya hidup mereka, termasuk guru-gurunya, ditanggung oleh raja sendiri sehingga dengan cepat madrasah itu berkembang. Santrinya berdatangan dari berbagai tempat.
Malangnya, kehadiran penjajah Jepang di Indonesia ternyata merupakan penghalang bagi kemajuan madrasah tersebut. Jepang berusaha menghambat dan membatasi semua langkahnya. Namun, Ambo Dalle tidak kehilangan siasat. Ia menyuruh para santrinya agar tidak belajar di kelas-kelas, tetapi di kolong-kolong rumah penduduk. Ternyata, cara ini justru mengundang peminat yang kian banyak. Baru setelah Jepang menyerah, Ambo Dalle berhasil melanjutkan cita-citanya, mendirikan Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) di Mangkoso.
Dalam pengelolaan MAI Mangkoso, Ambo Dalle dibantu sejumlah tenaga pendidik yang cakap, seperti K.H.Burhanuddin, K.H. Makki Barru, K.H. Abd. Rasyid Ajakkang, K.H. Muhammad Yattang Sengkang, K.H. Hannan Mandalle, K.H. Haruna Rasyid Sengkang, K.H. M. Amberi Said, K.H.M. Qasim Pancana, K.H. Ismail Kutai, K.H. Abd. Kadir Balusu, dan K.H. Muhammdiyah. menyusul kemudian K.H.M. Aqib Siangka, K.H. Abd. Rahman Mattemmang, dan K.H.M. Amin Nashir. Berkat pengelolaannya yang baik, MAI Mangkoso berkembang pesat dan menjadi salah satu tujuan utama pencari ilmu agama Islam di Sulawesi Selatan. Santri-santrinya, yang pada mulanya hanya terbatas dari daerah Mangkoso dan sekitarnya, kini mulai berdatangan dari berbagai penjuru Sulawesi Selatan, bahkan dari Kalimantan dan Sumatera. Dalam perkembangan selanjutnya, pada 1941 dibuka tingkat Aliyah Lil-Banin untuk menampung lulusan santri putera yang berkeinginan melanjutkan pendidikan, menyusul tingkat Aliyah Lil-Banat untuk puteri yang dibuka pada 1944.
Secara organisatoris, MAI Mangkoso tidak ada hubungan dengan MAI Sengkang. Namun, dari segi kejiwaan ada hubungan batin yang akrab antara Ambo Dalle dengan mantan gurunya K.H. Muhammad As’ad. Terutama dalam membina nasionalisme dan kepahlawanan disamping keagamaan yang kuat. Buktinya, para santri banyak yang gugur sebagai kusuma bangsa pada zaman revolusi fisik. Malahan, daerah Paccekke, yang bersebelahan dengan kompleks MAI Mangkoso, merupakan basis gerilyawan republik yang berbaur dengan masyarakat umum dan santri.

C. DDI Wadah Perjuangan Mencerdaskan Bangsa
1. Musyawarah Alim Ulama Se-Sulawesi Selatan dan pengintegrasian MAI
Atas inisiatif K.H.M. Daud Ismail (Qadhi Soppeng), K.H. Abdurrahman Ambo Dalle (MAI Mangkoso), dan Syekh Abd. Rahman Firdaus dari Parepare bersama K.H. Abduh Pabbajah dari Allakuang beserta ulama lainnya, diadakanlah Musyawarah Alim Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah se-Sulawesi Selatan yang dipadukan waktunya dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., bertempat di Watan Soppeng pada 16 Rabiul Awal 1366 H. bertepatan dengan 17 Februari 1947 guna menghindari kecurigaan Westerling karena Soppeng termasuk afdeling Bone yang bebas dari operasi pembantaian Westerlin karena pengaruh Aruppalakka.
Salah satu keputusan penting dari musyawarah tersebut adalah perlunya didirikan suatu organisasi Islam yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah dan sosial kemaslahatan umat untuk membina pribadi-pribadi muslim yang kelak bertanggung jawab atas terselenggaranya ajaran Islam secara murni di kalangan umat Islam dan menjamin kelestarian jiwa patriotik rakyat Sulawesi Selatan yang pada waktu itu sedang bertarung mempertahankan jiwa raganya guan mengusir penjajah Belanda dan mempertahankan kemerdekaan proklamasi 17 Agustus 1945.
Namun dari organisasi yang akan dibentuk itu menjadi perdebatan dalam musyawarah dengan munculnya tiga nama, yakni al-‘Urwatul Wutsqa dari K.H.M Tahir Usman, Nasrul Haq oleh K.H. Abduh Pabbajah dan Darud Da’wah Wal Irsyad oleh Syekh Abd. Rahman Firdaus. Dengan melalui proses yang demokratis maka nama Darud Da’wah Wal Irsyad yang mendapat sepakatan forum musyawarah. Karena Ambo Dalle selaku pimpina MAI yang telah memiliki cabang dibeberapa daerah, maka oleh musyawarah alim ulama diamanatkan untuk memimpin organisasi DDI.
Menindaklanjuti amanat yang diembang oleh musyawarah alim ulama, Ambo Dalle segera mengadakan musyawarah dengan guru-guru MAI Mangkoso dengan utusan cabang lainnya dari berbagai daerah. Dalam musyawarah yang diadakan di Mangkoso ini disepakati pengintegrasian MAI Mangkoso beserta cabag-cabangnya ke dalam DDI. Dengan demikian, MAI Mangkoso yang semula merupakan lembaga pendidikan keagamaan, lewat proses integrasi ini berubah menjadi organisasi kemasyarakatan yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah dan usaha sosial.
Sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasarnya, DDI “beraqidah keagamaan Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah” Istilah Ahlussunah Wal Jama’ah dalam hal ini lebih merupakan istilah idiologis yang merangkum gambaran menyeluruh tentang segala aspek kehidupan manusia. Dalam bidang teologi, sistem nilai yang dianut dan dikembangkan DDI adalah faham Asy’ariyah. Dalam bidang fikhi, sumber pengambilan hukumnya adalah Alquran, Hadist, Ijma’, dan Qiyas, serta lebih cenderung kepaham mazhab Syafi’iyah. yang dianut mayoritas umat Islam Indonesia. Sementara tujuan organisasi ini adalah: 1) Memajukan kecerdasan umum dan peradaban manusia; 2) Menyampaikan ajaran-ajaran Islam dan meyadarkan umat hidup bertaqwa; 3) menuntun umat ke arah pelaksanaan ajaran-ajaran Islam guna terwujudnya individu-individu yang berakhlakul karimah; 4) Memelihara persatuan dalam kaum muslimin dan perdamaian dalam masyarakat.

2. Parepare Sebagai Pusat Organisasi DDI
Pada 1950 pimpinan pusat DDI, yang sejak 1947 berkedudukan di Mangkoso, pindah
ke Parepare mengikuti kepindahan Ambo Dalle yang mendapat tawaran menduduki posisi Qadhi Swapraja Mallusetasi di Parepare. Letak kota ini memang cukup strategis serta lebih memadai dalam rangka peningkatan koordinasi dan pengembangan cabang-cabang DDI di Sulawesi Selatan.
Menjelang kepindahan Ambo Dalle ke Parepare, sebuah madarasah DDI dibangun di kota ini, yang berlokasi disebelah selatan Mesjid Raya Parepare. Belakangan, bangunan ini dijadikan Rumah Sakit Bersalin dan Apotik Addariyah DDI untuk merealisasikan cita-cita organisasi tersebut di bidang sosial. Pada 1957, juga dibangun kampus baru pondok pesantren di daerah Ujung Lare Parepare untuk mengakomodasi perkembangan DDI yang cukup pesat. Sejumlah cabang juga dibuka pada masa itu. Kampus baru ini luasnya sekitar 3 Ha dilengkapi dengan Kantor Pusat Pengurus Besar DDI disamping lokasi belajar para santri.
Sebagai gambaran berakarnya DDI di Kota Parepare dapat dilihat dari 29 madrasah yang ada dalam kota ini, 25 diantaranya adalah madrasah DDI yakni, 4 buah tingkat Raudhatul Athfal atau TK, 11 buah tingkat Ibtidaiyah/Diniyah, 6 buah tingkat Tsanawiyah, dan 3 buah tingkat Aliyah. Bahkan di kota ini pula berkedudukan Universitas Islam DDI (UI-DDI) yang membawahi fakultas-fakultas berikut: 1) Fakultas Tarbiyah di Pinrang; 2) Fakultas Syariah di Mangkoso; 3) Fakultas Tarbiyah di Pangkajene Sidrap; 4) Fakultas Tarbiyah di Polmas; 5) Fakultas Tarbiyah di Pangkep; 6) Fakultas Tarbiyah di Majene; 7) Fakultas Tarbiyah di Maros; 8) Fakultas Syariah di Pattojo; 9) Fakultas Tarbiyah dan Ushuluddin tingkat Doktoral di Parepare; 10) STKIP dan STIIP di Polewali dan Majene.
Namun hingga 1953, pendidikan yang diselenggarakan DDI masih terbatas pada imu-ilmu keagamaan dan bahasa Arab. Baru pada muktamar ke-5 yang diadakan di Parepare pada pertengahan 1953, pendidikan yang diselenggarakan DDI diperluas dengan menambahkan pengetahuan umum ke dalam kurikulumnya. Secara terprogram, upaya pengembangan ini dirumuskan dalam Konferensi Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan DDI, yang diadakan di Parepare pada 1954.
Pada tahap ini, DDI pimpinan Ambo Dalle telah mengembangkan sayapnya untuk mengelola lembaga pendidikan mulai dari tingkat permulaan (TK) sampai tingkat lanjutan atas, baik yang bersifat umum, kejuruan, serta keagamaan (madrasah dan pesantren). Sekolah-sekolah umum yang dikelola adalah Taman Kanak-kanak Islam (TKI), Sekolah Rakyat Islam (SRI), Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI), dan Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI), yang perimbangan pelajaran agama dan umumnya mengikuti kurikulum yang ditetapkan Departemen P&K bagi sekolah-sekolah negeri yang sederajat.
Sementara sekolah Kejuruan yang dikelola DDI antara lain meliputi Sekolah Kemasyrakatan Islam (SKI), Kursus Dagang Islam (KDI), Sekolah Guru Islam (SGI), Sekolah Guru Taman Kanak-kanak Islam (SGTKI), dan Sekolah Kerumahtanggaan Islam (SKTI), yang kurikulmnya diatur sendiri. Belakangan , sekolah-sekolah kejuruan ini ditambahkan dengan Pendidikan Qurra’ wa al-Huffazh.
3. DDI dalam Masa Kekuasaan DI/TII
Pada masa kekuasaan gerombolan DI/TII yang mulai beroperasi sekitar 1950 di seluruh Sulawesi Selatan dan Tenggara di bawah pimpinan Kahar Muzakkar, posisi DDI mengalami kesulitan pengembangan disebabkan perbedaan idiologi yang dianut oleh DDI dengan idiologi keagamaan yang diperjuangkan oleh DI/TII. Karena itu, dalam Piagam Malakua sebagai landasan manifesto perjuangan DI/TII pada pasal 13 dinyatakan bahwa Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI) adalah organisasi kontra revolusioner yang harus/wajib di lenyapkan. Dan dari sudut pandang aparat (TNI), DDI dicurigai karena ada kemiripan nama dengan DI/TII, ditambah lagi keberadaan Ambo Dalle sebagai tokoh DDI dilingkungan DI/TII memperkuat dugaan itu setelah sekelompok pasukan DI/TII dibawah pimpinan Nurdin Pisok menculiknya di desa Belang-Belang, kabupaten Maros, pada tanggal 18 Juli 1955 sewaktu Ambo Dalle dalam perjalanan dari Parepare ke Makassar untuk mengurus persiapan pembentukan perguruan tinggi DDI.
Penculikan Ambo Dalle dilatarbelakagi keinginan Kahar Muzakkar untuk memperoleh dukungan rakyat Sulawesi Selatan terhadap perjuangannya dengan memanfaatkan kharisma kiai di kawasan ini. Pada tahun pertama penculikan, Ambo Dalle difungsikan oleh Kahar Muzakkar dan diangkat sebagai Ketua Dewan Penasehat DI/TII. Beberapa waktu kemudian ia dinobatkan sebagai Wakil Presiden merangkap Menteri Pendidikan, sehingga pedalaman Sulawesi Selatan dan Tenggara berada dalam kontrol DI/TII kecuali daerah yang dikuasai gerombolan TKR dibawah pimpinan Hamid Ali dan Usman Balo yang tidak memiliki idiologi politik yang jelas kecuali karena ketidakpuasan terhadap pemerintah.
Setelah datangnya seorang ulama dari solo, K.H. Maksum, yang berpengaruh terhadap kebijakan Kahar Muzakkar terutama fatwanya yang membolehkan seorang pria dapat menikah dengan sembilan wanita, ditolerir dan dikembangkan oleh Kahar Muzakkar sedangkan Ambo Dalle menolak fatwa ini, maka mulailah terjadi konflik idiologi keagamaan secara terbuka dalam internal DI/TII. Akibat dari konflik ini, terjadi peristiwa Penselonan—pembuangan tawanan dilingkungan DI/TII—terhadap Ambo Dalle ke desa Lambae Sulawesi Tenggara karena dianggap berbahaya secara idiologi keagamaan pada masa itu oleh kelompok K.H. Maksum dengan menggunakan kekuasaan Kahar Muzakkar.
Keberadaan Ambo Dalle dalam kekuasaan DI/TII membuat banyak madrasah DDI mengalami kevakuman. Apalagi banyak guru-guru yang dikirim mengajar ke daerah-daerah pengunungan menjadi korban, entah diculik oleh pasukan DI/TII atau dibunuh oleh pasukan TNI karena dicurigai sebagai anggota DI/TII. Memang pada saat itu, aparat (TNI) sempat mencurigai beberapa anggota organisasi Islam seperti Muhammadiyah, PSII, dan DDI telah memberikan dukungan, baik diam-diam maupun terang-terangan terhadap gerakan DI/TII di daerah. Kecurigaan tersebut berimbas kepada kegiatan madrasah-madrasah DDI. Meskipun demikian, secara organisasi DDI tetap berjalan dengan tampilnya K.H.M. Abduh Pabbajah sebagai Ketua Umum DDI mengantikan Ambo Dalle kemudian pada periode selanjutnya oleh K.H.M. Ali al-Yafie.
Kondisi seperti itu berlansung hampir sembilan tahun sampai Ambo Dalle berhasil keluar dari hutan pada 1963, saat Kodam XIV Hasanuddin dibawah pimpinan Brigjen M. Yusuf melancarkan operasi kilat. Saat berada kembali di tengah-tengah warga DDI, Ambo Dalle segera melakukan konsolidasi organisasi dengan mengadakan Musyawarah Pendidikan Pengurus Besar DDI di Mangkoso dan mendirikan Perguruan Tinggi DDI yang diberi nama Universitas Islam DDI (UI-DDI) dengan Ambo Dalle sebagai rektornya.
4. DDI dan Dinamika Politik Praktis
Secara kelembagaan, DDI tidak melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat politik praktis. Hal ini tercermin dalam pasal 2 Peraturan Dasar DDI yang pertama “Badan ini tidak mencampuri soal-soal politik”. Namun, untuk menyalurkan aspirasi politik warga DDI menghadapi pemilu pertama, Ambo Dalle selaku ketua umum Pengurus Besar DDI menyarankan agar warga DDI memberikan suara kepada partai Islam yang memasang orang-orang DDI sebagai calon legislatifnya. Bahkan, untuk optimalisasi suara partai Islam, Ambo Dalle memutuskan ikut Pemilu 1955 atas namanya sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk mengumpulkan dan memperbanyak suara umat Islam kemudian disalurkan kepada partai politik Islam (PSII, NU, PERTI, dan Masyumi) yang kebetulan menempatkan warga DDI sebagai calon anggota legislatif.
Keterlibatan sejumlah tokoh DDI dalam ranah politik praktis tersebut—walau atas namanya sendiri—mulai terasa imbasnya kedalam DDI menjelang muktamar ke-11 tahun 1969. Saat itu muncul kesan adanya persaingan pengaruh diantara tokoh-tokoh DDI. Bahkan, DDI seakan-akan ingin diseret ke dalam naungan salah satu partai politik Islam yang ada.
Gejolak itu mencapai kulminasi dalam Muktamar ke-11 yang berlangsung di Watan Soppeng. Muktamar pun berlangsung cukup hangat, itu disebabkan adanya salah satu kekuatan dalam DDI yang ingin memasukkan unsur salah satu partai politik ke dalam lembaga DDI. Akibatnya, muktamar berakhir dengan menyisahkan masalah yang “menggantung”. Masalah itu muncul kembali pada muktamar berikutnya.
Pada perkembangan selanjutnya, gejolak politik kembali menerpa DDI saat menghadapi Pemilu 1977. Saai itu, partai-partai politik melakukan fusi dan yang tinggal hanya 3 partai (PPP, Golkar dan PDI).
Atas dasar untuk menyelamatkan DDI dari tekanan pemerintah yang cukup refresif, setelah melalui istikharah, akhirnya Ambo Dalle menyatakn diri bergabung dengan Golkar dan menjadi calon anggota legislatif. Meskipun keterlibatan Ambo Dalle atas nama pribadinya, bukan lembaga, namun tak urung sikap politik Ambo Dalle ditentang oleh beberapa tokoh DDI. Sikap itu dianggap sudah keluar dari tujuan perjuangan DDI. Akibatnya, hal itu berimbas pada pondok pesantren DDI Parepare yang dipimpin langsung oleh Ambo Dalle. Kampus DDI Ujung Lare dan Ujung Baru ditinggalkan oleh santri-santri. Imbas itu juga terasa sampai ke cabang-cabang DDI. Melihat kondisi itu, Ambo Dalle merasa frusttasi dan berniat pindah ke Kalimantan Timur. Tetapi dalam suasana ketidakpastian ini, datang tawaran dari Bupati Pinrang untuk hijrah ke kotanya, dan bagi Ambo Dalle telah disiapkan suatu areal yang bisa dibangun pesantren. Ambo Dalle segera menerima tawaran ini, kemudian pindah ke Pinrang dan mendirikan Pesantren DDI Kaballangan.
Peristiwa dan pengalaman pahit Pemilu 1977 memberikan kesadaran kepada warga dan tokoh-tokoh DDI untuk mempertegas kembali independensi DDI. DDI harus kembali ke Mabda’nya. Maka, dalam muktamar ke-14 1979 di Parepare dicetuskan Deklarasi Ujung Lare yang berisi indepensi DDI. Dalam deklarasi itu juga dicantumkan tentang pemakaian kembali lambang DDI yang diciptakan Ambo Dalle.
Upaya Ambo Dalle untuk mendekatkan diri kepada pemerintah demi perkembangan DDI kelihatannya tidak lagi mendapatkan oposisi yang keras dari warga DDI setelah itu. Indikasi tentang hal ini bisa dilihat pada Pemilu 1982, di mana pesantren DDI di Parepare maupun Kaballlangan, Pinrang, yang dikelola langsung oleh Ambo Dalle tidak lagi mengalami kegoncangan dalam pemilu tersebut. Demikian pula ketika rezim Soeharto memaksakan Pancasila sebagai “asas tunggal” bagi organisasi sosial, DDI tidak mengalami masalah untuk menerimahnya dalam muktamar ke-15 pada 1984 di Kaballangan. Dalam “Deklarasi Kebulatan Tekad” yang dikeluarkan di Kaballangan pada pertengahn Maret 1984, dinyatakan berlakunya asas tunggal Pancasila bagi DDI. Itulah sebabnya terdapat kesan kuat bahwa Ambo Dalle ingin rukun terhadap pemerintah.

D. Penutup
Sebagaimana lazimnya para kiai yang telah sampai pada derajat waliyullah, Ambo Dalle juga diyakini oleh murid-muridnya memiliki karamah. Banyak cerita supranatural yang beredar di kalangan warga DDI tentang hal ini. Bahkan di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan, ingatan mereka paling menonjol tentang Ambo Dalle adalah peristiwa-peristiwa supranatural. Banyak masyarakat datang untuk meminta “air penyembuh” darinya.
Tahun-tahun terakhir Ambo Dalle dijalaninya dalam keadaan lumpuh total. Setelah terjatuh di kamar mandinya dan terserang stroke, Ambo Dalle mengalami kelumpuhan dan penurunan kondisi fisik secara draktis. Semua aktivitas yang bersifat fisikal tidak lagi dapat dilakukan tanpa bantuan orang lain. Namun, dalam kondisi fisik semacam itu, Ambo Dalle masih tetap aktif mengelola DDI dan perguruannya, bahkan masih bertandang ke berbagai cabang DDI di daerah untuk berdakwah, mengunjungi murid dan mengembangkan perguruannya.
Setelah beberapa kali dirawat di rumah sakit lantaran usia, pada permulaan Nopember 1996 Ambo Dalle kembali dibawa ke RS Akademis Ujung Pandang untuk dirawat. Ini merupakan kunjungan terakhirnya ke rumah sakit, setelah tiga minggu dirawat, Kiai kharismatik ini dipanggil pulang oleh Khaliqnya seusai shalat Jumat, 29 Nopember 1996. Siang itu juga jenazahnya dibawa pulang ke kediamannya di Parepare.
Di pagi hari berikutnya—Sabtu, 30 Nopember 1996—jenazah Ambo Dalle diberangkatkan ke Mangkoso dan dimakamkan di bagian depan kompleks mesjid Pesantren DDI Mangkoso, berdampingan dengan dua makam rekannya, H. Andi Muh. Yusuf Andi Dagong dan K.H. Amberi Said, yang pada masa lalu sangat berjasa dalam mengembangkan pesantren tersebut.
Dan Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI), sebagai amanah yang diwarisankan Ambo Dalle kepada warga DDI, kini dalam perkembangannya telah tersebar di 20 propinsi dipelosok tanah air seluruhnya ditangani 6 Pengurus Wilayah, 53 Pengurus Daerah, 307 Pengurus Cabang dan 87 Pengurus Ranting dengan jumlah madrasah 1025 buah, 75 buah pondok pesantren dan 15 buah penguruan tinggi.

Sejarah DDI

MAI SENGKANG

 

Salah satu lembaga pendidikan tertua di Sulawesi Selatan yang dikenal luas di Indonesia adalah Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) di Sengkang Kabupaten Wajo yang didirikan bersetuju dengan bulan Zulkaidah 1348 H, yang bertepatan dengan bulan Mei 1930 M, oleh K. H. Muh. As’ad yang baru saja kembali dari Mekah pada tahun 1928. Pendidikan formal terakhir yang diikuti beliau di Mekah adalah di Madrasah Al-Falah.

Pada awal mulanya MAI Sengkang hanya merupakan pengajian dengan sistem mengaji tu’dang yang diadakan dirumah K. H. Muh As’ad, yang oleh penduduk setempat dan murid-muridnya, hingga kini, menyebutnya Anregurutta Sade. Menyusul yang santrinya yang semakin bertambah banyak, maka tempat pengajiannya pun dipindahkan ke Masjid Jami Sengkang. Walaupun mengaji tu’dang masih berlanjut, seiring dengan berkembangnya jumlah santri yang tidak tertampung lagi maka didirikan lembaga pendidikan madrasah dengan sistem klasikal, yang oleh K. H. Muh. As’ad pengorganisasiannya dipercayakan kepada salah seorang ustadz dan sekaligus murid kepercayaannya, yang kemudian juga terkenal sebagai ulama besar Indonesia yang berasal dari Sulawesi Selatan, yakni K. H. Abd. Rahman Ambo Dalle.
Selama MAI Sengkang masih dibawah kepemimpinan K. H. Muh. As’ad tidak ada perluasan ekspansi wilayah. Beliau tidak membenarkan adanya pendirian MAI di tempat lain, baik sebagai cabang ataupun sebagai filial. Dampak dari kebijakan ini adalah semua santri yang ingin memperoleh ilmu dari K. H. Muh. As’ad harus datang ke Sengkang dan mondok di MAI Sengkang. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran beliau akan sulitnya mengendalikan cabang-cabang, menjaga standar mutu pendidikan, dan nantinya akan mempengaruhi citra MAI Sengkang secara keseluruhan. Beliau tidak pernah khawatir akan kekurangan santri, seandainya dibuka kesempatan mendirikan cabang atau filial di luar Sengkang sekalipun.
Berkat pembinaan yang dilakukan oleh K. H. Muh. As’ad, maka MAI Sengkang inilah lahir ulama tokoh pendidik Islam Sulawesi Selatan yang terkemuka, seperti : K. H. Muhammad Daud Ismail, K. H. Muh. Abduh Pabbajah, K. H. Muhammad Yunus Maratan, K. H. Muhammad Yusuf Hamzah, K. H. Abdul Muin Yusuf, K. H. Muhammad Amberi Said, K. H. Djunaid Sulaiman, K. H. Muhammad Amin Nashir, K. H. Marzuki Hasan dan tentunya K. H. Abd. Rahman Ambo Dalle. Kesemuanya ini adalah merupakan santri angkatan pertama dari K. H. Muh. As’ad.
Hanya saja pembinaan langsung, yang dilakukan oleh K. H. Muh. As’ad kepada santri-santri MAI Sengkang tidak begitu lama, karena Tuhan telah memanggil beliau masih dalam usia yang relatif muda, 45 Tahun. Beliau wafat pada hari Senin, 12 Rabiul Awal 1372 H bertepatan dengan 29 Desember 1952 M. atau dua tahun setelah Sulawesi Selatan melepaskan diri dari pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT) buatan belanda bersama dengan wilayah-wilayah Indonesia lainnya melalui konferensi Meja Bundar di Belanda pada bulan November – Desember 1949, kecuali Irian Barat yang nanti diintegrasi Republik Indonesia pada tahun 1962.
Untuk mengenang jasa-jasa K. H. Muh. As’ad, tokoh pendiri dan pembina MAI Sengkang sertya ulama pertama yang mempraktekkan pendidikan pondok pesantren dengan sistem klasikal, maka pada tanggal 25 Sya’ban 1372 H, yang bertepatan dengan tanggal 9 Mei 1953 murid-muridnya sepakat mengubah nama MAI Sengkang menjadi perguruan As’adiyah, suatu nama perguruan yang tidak sekedar mengabadikan nama K. H. Muh. As’ad tetapi juga nama perguruan yang mengandung harapan agar santri-santri yang belajar di perguruan ini dapat mewarisi ilmu dan kemasyhuran K. H. Muh. As’ad.
Setelah perubahan nama perguruan atau setelah K. H. Muh. As’ad wafat baru ada keberanian dari pengelola mendirikan cabang di luar kota Sengkang. Selain perluasan cabang ke beberapa daerah, juga perguruan As’adiyah mengalami perluasan jenjang pendidikan yang kini pengelola mulai dari tongkat Taman Kanak-kanak sampai pada tingkat perguruan Tinggi.
 
 
Sumber : DARUD DA’WAH WAL-IRSYAD (DDI) Dalam Simpul Sejarah Kebangkitan dan Perkembangan.